Sabar menghadapi musibah
Ada empat tingkatan manusia dalam menghadapi musibah
Pertama- MARAH
Sesetengah daripada manusia, dia marah-dengan hatinya, lisannya atau anggotanya.
Marah dengan hati
Seperti benci terhadap Rabbnya atau marah terhadap takdir Allah ke atasnya sehingga kadangkala boleh sampai ke tingkat kekufuran.
Firman Allah:
"Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (QS.Al-Hajj: 11)
Atau dia marah dengan lisannya seperti menyebut-nyebut kecelakaan, kebinasaan dan sebagainya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, membaling barang, merosakkan harta, menghantukkan kepala ke tembok dan sebagainya.
Kedua- SABAR
Bahawa sesungguhnya orang yang sabar ini dia melihat bahawa musibah itu adalah berat baginya dan tidaklah dia menyukainya tetapi perkara itu membawanya kepada kesabaran. Memang tidak sama baginya jika ada musibah atau tidak (dengan tiada musibah mungkin hidupnya lebih senang dan hatinya lebih tenang kerana tidak memikirkan musibah itu) tetapi keimanannya melindunginya dari marah
Ketiga- RIDHA
Tingkat ini adalah lebih tinngi daripada tingkat sebelumnya. Bagi orang yang ridha, sama sahaja keadaannya jika ada musibah ataupun tiada walaupun boleh jadi dia akan bersedih kerana musibah tersebut, kerana baginya dia ‘berenang’ dalam Qada’ dan Qadar Allah swt. Kemana sahaja qada’ dan qadar Allah singgah, maka dia akan singgah bersamanya, baik di dalam kesenangan ataupun kesulitan. Jika diberi kenikmatan ataupun musibah, maka semuanya menurutnya adalah sama. Bukan kerana dia tiada perasaan atau hatinya ‘mati’ tetapi kerana sempurnanya redhanya terhadap Rabbnya, maka dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya. Inilah perbezaan antara redha dan sabar.
Keempat- BERSYUKUR
Ini adalah darjat tertinggi, iaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya kerana dia melihat bahawa sesungguhnya ada musibah di luar sana yang lebih besar daripada apa yang menimpa dirinya dan bahawasanya musibah-musibah berkaitan dunia lebih ringan daripada musibah-musibah berkaitan agama, dan sesungguhnya azab-azab di dunia adalah lebih ringan daripada di akhirat dan sesungguhnya ini adalah sebab penghapus dosa-dosanya dan untuk menambah kebaikannya. Maka dia bersyukur atas musibah tersebut.
Rasulullah saw bersabda:
"Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, walaupun hanya duri yang menusuknya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘A`isyah)
"Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana walaupun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan baginya kesalahan-kesalahannya." (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)
Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut.
Bagaimana Mendapatkan Ketenangan?
Allah Ta’ala berfirman:
"Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS.At-Taghaabun: 11)
Yang dimaksud dengan "beriman kepada Allah" dalam ayat ini adalah beriman kepada taqdir-Nya.
Firman-Nya "nescaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya" yaitu Allah akan memberikan ketenangan kepadanya. Dan hal ini menunjukkan bahwasanya iman itu berkaitan dengan hati, apabila hatinya mendapat petunjuk maka anggota badannya pun akan mendapat petunjuk pula, berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila baik maka akan baiklah seluruh jasadnya dan apabila rosak maka akan rosaklah seluruh jasadnya, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir)
Berkata ‘Alqamah (menafsirkan ayat di atas): "seseorang yang ditimpa suatu musibah lalu dia mengetahui bahwasanya musibah tersebut dari sisi Allah maka dia pun ridha dan menerima (berserah diri kepada-Nya)."
Tafsiran ‘Alqamah ini menunjukkan bahwa ridha terhadap taqdir Allah merupakan konsekuensi iman, karena sesungguhnya barangsiapa yang beriman kepada Allah maka bererti dia mengetahui bahwasanya taqdir itu dari Allah, sehingga dia ridha dan menerimanya. Maka apabila dia mengetahui bahwasanya musibah itu dari Allah, akan tenang dan senanglah hatinya dan kerana diantara sebab terbesar seseorang merasakan ketenangan dan kesenangan adalah iman terhadap qada’ dan qadar.
Tanda Kebaikan & Kejelekan Seorang Hamba
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan balasannya di dunia, dan apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka Allah akan menunda balasan dari dosanya, sampai Allah sempurnakan balasannya di hari kiamat." (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik)
Dalam hadith ini dijelaskan bahwa Allah menginginkan kebaikan dan kejelekan kepada hamba-Nya. Akan tetapi kejelekan yang dimaksudkan di sini bukanlah kepada zatnya kejelekan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah:
"Dan kejelekan tidaklah disandarkan kepada-Mu." (HR. Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib)
Maka barangsiapa menginginkan kejelekan kepada zatnya maka kejelekan itu disandarkan kepadanya. Akan tetapi Allah menginginkan kejelekan kerana suatu hikmah sehingga jadilah hal itu sebagai kebaikan ditinjau dari hikmah yang dikandungnya.
Sesungguhnya seluruh perkara itu di tangan Allah ‘Azza wa Jalla dan berjalan sesuai dengan kehendak-Nya karena Allah berfirman tentang diri-Nya:
"Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki." (QS.Huud: 107)
Dan juga Dia berfirman:
"Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (QS.Al-Hajj: 18)
Maka semua perkara itu di tangan Allah. Seseorang tidak akan lepas dari salah/keliru, berbuat maksiat dan kurang dalam menunaikan kewajiban, maka apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, akan Allah segerakan baginya balasan (dari perbuatan dosanya) di dunia, apakah diuji dengan hartanya atau keluarganya atau dirinya sendiri atau dengan seseorang yang menjadi sebab adanya ujian-ujian tersebut.
Jelasnya, dia akan disegerakan balasan (dari perbuatan dosanya). Karena sesungguhnya balasan akibat perbuatan dosa dengan diuji pada hartanya, keluarganya ataupun dirinya, itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Maka apabila seorang hamba disegerakan balasannya dan Allah hapuskan kesalahannya dengan hal itu, maka bererti Allah mencukupkan balasan kepadanya dan hamba tersebut tidak mempunyai dosa lagi karena dosa-dosanya telah dibersihkan dengan adanya musibah dan bencana yang menimpanya.
Bahkan kadang-kadang seseorang harus menanggung beratnya menghadapi sakaratul maut karena adanya satu atau dua dosa yang dia miliki supaya terhapus dosa-dosa tersebut, sehingga dia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa-dosa. Dan ini adalah suatu kenikmatan karena sesungguhnya ‘adzab dunia itu lebih ringan daripada ‘adzab akhirat.
Akan tetapi apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka akan Allah biarkan dia dalam keadaan penuh kemaksiatan dan akan Allah curahkan berbagai kenikmatan kepadanya dan Allah hindarkan malapetaka darinya sampai dia menjadi orang yang sombong dan bangga dengan apa yang Allah berikan kepadanya.
Dan ketika itu dia akan menjumpai Rabbnya dalam keadaan bergelimang dengan kesalahan dan dosa lalu dia pun diseksa di akhirat akibat dosa-dosanya tersebut. Kita meminta kepada Allah keselamatan.
Maka apabila engkau melihat seseorang yang nampak dengan kemaksiatan dan telah Allah hindarkan dia dari musibah serta dituangkan kepadanya berbagai kenikmatan maka ketahuilah bahwasanya Allah menginginkan kejelekan kepadanya, karena Allah mengakhirkan balasan dari perbuatan dosanya sampai dicukupkan balasannya pada hari kiamat.
by candlesofmine